Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono
15 Puisi Karya Sapardi Djoko Damono
Aku
ingin mencintamu dengan sederhana
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan kata yang tak
sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Hatiku
selembar daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku
sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku
pandang
Yang selama ini
senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman
setiap pagi
Kuhentikan
Hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam
diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan
hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga
Hujan
di bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik
rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak
kakinya
Yang ragu-ragu di jalan
itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak
terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Yang
fana adalah waktu
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi
detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah
waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Di
Restoran
Kita berdua saja
Duduk
Aku memesan ilalang
panjang dan bunga rumput
Kau entah memesan apa
Tapi kita berdua saja
Duduk
Aku memesan batgu di
tengah sungai terjal yang deras
Kau entah memesan apa
Tapi kita berdua saja
Duduk
Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya
Memesan rasa lapar yang
asing itu
Pada
suatu hari nanti
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait
sajak ini
kau tak akan kurelakan
sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar
lagi
tapi di antara
larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal
lagi
namun di sela-sela huruf
sajak ini
kau tak akan letih-letihnya
kucari
Akulah
Si Telaga
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan
riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil
memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang
sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya
Perahu
Kertas
Waktu masih kanak-kanak
kau membuat perahu kertas dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat
tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di
bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
berbagai gambar
warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun
menunggu kalau-
kalau ada kabar dari perahu yang tak
pernah lepas dari rindu-
mu itu.
Akhirnya kau dengar juga
pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam
sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Sihir
Hujan
Hujan mengenal baik
pohon, jalan,
dan selokan – swaranya
bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya
meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun
sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar
membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan
selokan –
menyihirmu agar sama
sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu
yang harus kaurahasiakan
Di
Tangan Anak-anak
Di tangan anak-anak,
kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada
gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan
kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata
menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kauganggu
permainanku ini.”
Telinga
“Masuklah ke telingaku,”
bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke
telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa
pun
secara terperinci —
setiap kata, setiap huruf,
bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa
menafsirkan sebaik-
baiknya apa pun yang
dibisikkannya
kepada diri sendiri.
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu
sebentar,
saya sedang ke luar.
Seruling
Seruling bambu itu
membayangkan ada yang meniupnya, me-
nutup-membuka lubang-lubangnya,
menciptakan pangeran dan
putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak
terbayangkan merdu-
nya ….
Ia meraba-raba
lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-
nganga.
Di
Atas Batu
ia duduk di atas batu dan
melempar-lemparkan kerikil ke tengah
kali
ia gerak-gerakkan
kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana
ke mari
ia pandang sekeliling:
matahari yang hilang - timbul di sela
goyang daun-daunan, jalan setapak yang
mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung –
ia ingin yakin bahwa
benar-benar berada di sini
Peristiwa
Pagi Tadi
Pagi tadi seorang sopir
oplet bercerita kepada pesuruh kantor
tentang lelaki yang terlanggar motor
waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor
bercerita kepada tukang warung tentang
sahabatmu yang terlanggar motor waktu
menyeberang, mem-
bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat
ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung
bercerita kepadamu tentang aku yang
terlanggar motor waktu menyeberang,
membentur aspal, lalu
diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan
menunggu setengah
jam sebelum dijemput ambulans dan
meninggal sesampai
di rumah sakit.
Malam ini kau ingin
sekali bercerita padaku tentang peristiwa
itu.
Komentar
Posting Komentar