Kumpulan Puisi Karya Joko Pinurbo
15
Puisi Karya Joko Pinurbo
TIKUS
Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi
perempuan lajang yang tinggal sendirian di rumahnya yang besar itu justru
merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus yang mencericit terus tiada
hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan setiap hari ada saja
tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan.
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca
buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus
sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang
selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan
ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus
sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di
ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
RENDEZVOUS
Kau sudah tak sabar menungguku di halaman rumah
berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang
wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela
berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan
cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus
jejaknya.
ANAK
SEORANG PEREMPUAN
Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya
anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang
lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka
kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang
tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan
bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh
tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng
bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan
terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas.
Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, "Kau, penyairku, apakah kau
tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?"
Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku
sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada
wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya.
Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka
membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi
tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan
sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah
mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya
ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur
hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: "Anak
seorang perempuan!"
MATAAIR
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu
mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong
menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah
bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di
dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun
sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai
air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang
karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis
kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat
bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim
hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan
airmatanya.
(2002)
IBU YANG TABAH
Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya
dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai
sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani
yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu,
meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya
yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun,
menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum
mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya
dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia
paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya,
"Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung
airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan
jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan
ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar
muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus
dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi
menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting,"
pesannya berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah
dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton
televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik.
Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah
tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera.
Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap
airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku
menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
TELEPON GENGGAM
Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan
perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang.
Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang
tembus pandang.
Di tengah hingar mereka berjabat tangan,
berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu
saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya
dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar
mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan
lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan
tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi
yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap
digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin
ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya
tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun
setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon
genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring
terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan
telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil
yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau
tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia
kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak
pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat,
Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk
dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus
asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib
itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara
burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya,
rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda
meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti
ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan
itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam
mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak
acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya.
Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak
perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil
menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening.
Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya
meronta-ronta dalam cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan
mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak
perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu.
Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya
bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU
untuk Wibi
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
BOLONG
Bahkan celana memilih nasibnya sendiri:
ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”
Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.
Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
PENJUAL CELANA
Konon ia seorang veteran, bekas pejuang kemerdekaan,
sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah
pasar
di dekat kuburan di pinggiran kota.
Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya
karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya,
terkenal sejak 1945.
Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana
itu
tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku.
“Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk
mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga
membelinya.
“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya
sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri.
Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana
antik
yang dipakainya, berapa pun harganya.
Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.”
Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi
di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di
pinggiran kota,
bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng
yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia
menyesal
mengapa dulu tidak menjualnya ke aku.
Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya
yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka.
(2002)
PENYAIR KECIL
untuk Nur
Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”
Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau
tertawa
melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
MAMPIR
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
BAYI MUNGIL DI KAMAR MANDI
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
(2002)
LUKISAN BERWARNA
untuk Andreas dan
Dorothea
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.
Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
PENUMPANG TERAKHIR
untuk Joni Ariadinata
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan
memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang
becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang
tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya
bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali
pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di
rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah
ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan
mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas
tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
AKU TIDUR BERSELIMUTKAN UANG
Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
PENJAGA MALAM
Penjaga malam itu masih setia menjaga rumah besar
yang tak pernah dihuni pemiliknya.
Ia sangat mencintai rumah kosong itu,
bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat
yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya.
Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi,
ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi
batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi
karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya.
GADIS ENAM PULUH TAHUN
Gadis enam puluh tahun berdiri di ambang jendela,
berbincang-bincang dengan senja.
Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa
sorot senja sangat menyilaukan matanya.
"Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong
mata lu!"
Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya.
Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang
di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri
di ambang jendela, berpacaran dengan senja,
dan sorot senja memancar dari kelopak matanya.
DOA MEMPELAI
Malam ini aku akan berangkat mengarungimu.
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat
bisa kutemukan sebuah kiblat
di ufuk barat tubuhmu.
(2002; kado buat Ade & Fajar)
JURANG
Berputar-putar di rimba ranjang, mencari jalan setapak
menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari
mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada
penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat
dan terperosok ke dalam jurang.
Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang.
PERIAS JENAZAH
Untuk terakhir kali perempuan cantik itu akan merias
jenazah.
Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian
lama
mengurusi keberangkatan para arwah .
Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan
yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas
asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang
sudi
mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya
gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas
ketidakamanan
bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman.
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat
jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan malang itu.
“Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna
ajalmu.”
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal
dunia
dan tak ada yang meriasnya.
Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah
yang pernah didandaninya pasti akan sangat
menyayanginya.
Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku
dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku
yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap
identitasnya.
Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang
kata-kataku.
Komentar
Posting Komentar